Minggu, 07 Maret 2010

Pernyataan Hizbut Tahrir Indonesia: “Tolak Obama, (Presiden Negara Penjajah)”

Pernyataan Hizbut Tahrir Indonesia: “Tolak Obama, (Presiden Negara Penjajah)”

Nomer: 177/PU/E/02/10
Jakarta, 26 Februari 2010/12 Rabiul Awwal 1431 H
PERNYATAAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA

“TOLAK OBAMA,

(Presiden Negara Penjajah)“

Seperti telah diberitakan, Presiden AS Barack Obama pada 20 - 22 Maret mendatang akan berkunjung ke Indonesia. Dalam kunjungan itu, disamping akan melakukan pembicaraan resmi dengan Presiden SBY menyangkut peningkatan hubungan AS dan Indonesia, Obama juga akan melakukan kunjungan nostalgia. Diantaranya ke SD Negeri I Menteng, tempat ia semasa kecil dulu bersekolah.

Berkenaan dengan hal itu, Hizbut Tahrir Indonesia mengingatkan bahwa sesungguhnya Obama adalah presiden dari sebuah negara yang saat ini jelas-jelas tengah menjajah negeri Muslim, seperti Irak dan Afghanistan. AS juga terus menyerang wilayah perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Akibatnya, negara-negara itu kini hancur berantakan. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara sosial, politik, ekonomi dan budaya. Tak terhitung besarnya kerugian yang ditimbulkan. Ratusan ribu bahkan mungkin jutaan rakyat di sana meninggal karenanya. Menurut penelitian John Hopkins University, akibat invasi AS ke Irak sejak tahun 2003 lebih dari 1 juta warga sipil Irak tewas. Memang dulu ketika AS menginvasi Irak dan Afghanistan, AS dipimpin oleh Presiden Bush. Tapi Obama tidak mengubah kebijakan biadab itu. Rencana untuk menarik pasukan AS dari Irak hingga sekarang belum diwujudkan. Ia bahkan sudah memutuskan menambah 30 ribu pasukan ke Afghanistan. Itu artinya tingkat kerusakan dan penderitaan rakyat di sana, termasuk yang kemungkinan bakal tewas, akan meningkat.

Sosok presiden seperti itulah yang rencananya akan berkunjung ke Indonsia. Sebuah sosok yang kejam, yang tidak beda dengan Bush, yang tangannya berlumuran darah dan yang tidak memiliki rasa belas kasih sedikitpun. Obama hingga sekarang juga tidak sedikitpun mengungkapkan rasa simpati terhadap para korban tragedi Gaza setahun lalu. Jangankan simpati terhadap korban atau kutukan terhadap pelaku, menyinggung peristiwa itu saja tidak pernah ia lakukan. Dalam pidato inaugurasi atau pelantikannya sebagai Presiden, tak sedikitpun ia menyinggung soal Gaza. Padahal itu peristiwa besar dengan korban lebih dari 1.300 orang tewas, yang telah menarik perhatian masyarakat dunia. Tapi bagi Obama, tragedi Gaza itu seolah tidak pernah ada.

Obama memang tamu. Tapi tamu itu ada dua macam. Tamu yang baik dan tamu yang bermasalah. Obama adalah jenis tamu yang kedua, karena dia hingga sekarang terus menghancurkan negeri-negeri Muslim dan membunuhi rakyat di sana.

Tambahan lagi, Indonesia dalam pembukaan UUD 45 telah menegaskan penentangannya terhadap segala bentuk penjajahan, dan oleh sebab itu penjajahan itu harus dihentikan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Bila konsisten dengan prinsip ini semestinya Indonesia juga harus menentang penjajahan yang dilakukan oleh AS di Irak dan Afghanistan. Dan bentuk paling ringan dari penentangan itu adalah menolak kehadiran presiden dari negara penjajah itu.

Juga, kedatangan Presiden Obama hanyalah merupakan bagian dari politik belah bambu di dunia Islam. AS berusaha menampilkan citra positif di satu negara muslim seperti Indonesia, untuk menutupi kejahatannya di negeri Islam lainnya (Irak, Afghanistan, Palestina, Pakistan dan lainnya) sehingga AS tetap bisa meraih dukungan dari negeri-negeri muslim atas semua tindakan kejinya yang dilakukan di negeri muslim yang lain.

Maka, berkenaan dengan hal itu, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

1. Menolak kehadiran Presiden AS Barrack Husein Obama ke Indonesia karena dengan semua tindakan brutal di sejumlah negeri muslim seperti Irak, Afghanistan dan di perbatasan Pakistan - Afghanistan itu, berarti AS telah secara sengaja memusuhi umat Islam. Serangan terhadap satu negeri Islam hakikatnya adalah serangan terhadap seluruh umat Islam. Oleh karena itu, dalam pandangan syariat Islam, AS sekarang ini termasuk kategori muhariban fi’lan atau negara yang dalam status memerangi umat Islam secara de facto. Presiden dari sebuah negara seperti itu tidak layak untuk diterima sebagai tamu.

2. Kunjungan Presiden AS Obama ke Indonesia tidak lain adalah untuk mengokohkan kepentingan politik dan ekonomi AS di negeri ini. Indonesia adalah negara yang sungguh penting buat AS. Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Kaya sumberdaya alam, khususnya energi, dan pasar yang sangat potensial untuk produk-produk ekspor AS. Banyak perusahaan AS di bidang migas dan pertambangan yang beroperasi di Indonesia. Dan dari perusahaan-perusahaan itu, sangat banyak AS menikmati kekayaan negeri ini. Apalagi kini AS tengah bersaing secara ekonomi dengan China. Kunjungan Obama ke Indonesia untuk memastikan bahwa Indonesia tetap dalam orbit pengaruhnya. Secara politik tetap menganut sistem dan ideologi sekuler. Dan secara ekonomi tetap menjadi pasar produknya dan perusahaan-persusahan AS tetap leluasa beroperasi di Indonesia. Artinya, kunjungan Presiden Obama akan semakin mengokohkan penjajahan (tidak langsung) AS atas negeri ini. Memang ada nuansa nostalgia karena Obama semasa kecil pernah sekolah di Jakarta. Tapi itu amat sangat tidak penting. Tidak mungkin presiden dari sebuah negara imperialis sebesar AS datang ke sebuah negara untuk sekadar bernostalgia.

3. Riwayat hidup Presiden Obama yang masa kecilnya pernah tinggal dan bersekolah di Jakarta, juga ada di antara nenek moyangnya yang beragama Islam tidak bisa dijadikan dasar untuk mengistimewakan dirinya. Penilaian atas Obama harus didasarkan pada apa yang dilakukan saat ini selama menjadi Presiden AS. Jangankan sekadar pernah tinggal di Indonesia dan ada nenek moyangnya beragama Islam, seorang warga negara Indonesia yang Muslim sekalipun bila tangannya berlumuran darah, membunuh banyak orang tetap saja harus kita hukum. Ingatlah pada sebuah hadits di mana Rasulullah menyatakan bahwa andai Fatimah anak perempuan Muhammad mencuri niscaya pasti juga akan dipotong tangannya.

4. Menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk sungguh-sungguh berjuang mewujudkan kehidupan Islami dimana di dalamnya diterapkan syariah Islam di bawah naungan Khilafah. Hanya dalam kehidupan seperti itu saja, izzul Islam wal muslimin termasuk perlindungan terhadap negeri-negeri muslim dan harkat, martabat serta kehormatan umat Islam bisa diujudkan. Dalam sistem sekular dengan penguasa tidak amanah seperti sekarang ini, umat Islam dan negeri-negeri muslim akan terus menerus dilecehkan, dihisap dan dihancurkan oleh negara kafir penjajah, dan untuk sekadar menolak kehadirannya pun tidak mampu.

Wassalam,

Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto

Hp: 0811119796 Email: Ismailyusanto@gmail.com

http://akhmadyusuf.blogspot.com/

Inaccurate and misleading reports on HTI

The Jakarta Post/opinion : Inaccurate and misleading reports on HTI

Muhammad Ismail Yusanto ,

Frankly, this is not the first time The Jakarta Post has published misinformation regarding Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). A number of news reports have been clearly inaccurate and misleading. Such reports do not do justice to local or international readers in providing the balanced points of view they deserve to make up their own minds about HTI.

For instance, on Feb. 2, 2010 the Post reported that the National Alliance for the Freedom of Religion and Faith (AKKBB) sought a judicial review of the blasphemy law (Law No. 1/PNPS/1965) by the Constitutional Court. The Post wrote “Militant groups ready to defend controversial law”. The article went on to say:

“The Islamic Defenders Front (FPI) and Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) said they would defend the controversial blasphemy law, calling the move to scrap the 45-year-old law an attempt to ‘liberalize’ and destroy Islam. The two radical groups have met with Religious Affairs Minister Suryadharma Ali to lend their support to the government to fight against the plan of human rights groups to have the law reviewed by the Constitutional Court.”

The use of the “militant groups” or “radical groups” carries negative connotations as if HTI belongs to a group that does not believe in dialogue and commits violence to propagate its messages. Moreover, it is unfair to single out HTI, because the two largest Muslim organizations — Nahdhatul Ulama (NU) and Muhammadiyyah — have both expressed support for the 1965 law also.

In addition to condoning the use of unfair labeling, the Post also published wrong information about a meeting between the religious affairs minister and HTI. The Post quoted a statement by AKKBB lawyer Uli Parulian without verification from an HTI source. On Feb. 4, the Post cited Uli Parulian Sihombing who “…deplored the meeting between the religious minister and the militant groups. ‘A minister should not conduct such a meeting. The worst thing is, we are also informed that the meeting used state funds,’ he told the Post.” We stress the fact that HTI never attended the said meeting, though HTI fully supports the cause for defending the 1965 law.

Even worse, the Post also reported that HTI members attacked AKKBB during the 2008 demonstration supporting Ahmadiyah at the National Monument (Monas) square. This is incorrect. HTI was never involved directly or indirectly in this incident. HTI is an Islamic group that seeks the implementation of sharia via the reinstatement of the Caliphate, purely by intellectual and political means, without resorting to any acts of violence.

The most recent opinion piece by Tobias Basuki published by the Post on Feb. 11 also referred to a meeting between the religious affairs minister with HTI and FPI on Feb. 4, 2010. Again, HTI did not even attend the meeting and FPI was not the only group which met with the minister.

Tobias has also ignored another fact: that tremendous support for the 1965 Law has come from a number of religious groups. Instead, Tobias labeled “groups with loud voices” whom he collectively called the “radical mob”, which is clearly uncalled for.

Oxford dictionary describes a mob being “a disorderly crowd of people”. Using Tobias logic, supporters of the law are simply a “radical and militant mob”, which includes grassroots religious organizations, like NU and Muhammadiyah.

Curiously, Tobias wrote, “The FPI, and particularly the HTI, should not have a say on matters of the Indonesian people. The HTI does not represent the interests of the Indonesian people and our nation.” First of all, Tobias has no right to judge HTI and FPI as having no say in matters of the Indonesian people. All Indonesian citizens have the right to get involved and strive for the betterment of Indonesia itself.

Moreover, being the largest Muslim country, Indonesia has significant numbers of FPI and HTI members spread throughout its 33 provinces and in more than 300 cities. So who can deny the rights of FPI and HTI who are obviously Indonesian citizens? How could one conclude that HTI and its members have no concern for the affairs of the Indonesian people?

Second, notwithstanding having very easy access to verification, Tobias seems to conveniently ignore various HTI activities. HTI is clearly concerned with the current condition of the people and their nation that has been struggling with poverty, corruption, moral decadence, injustice, exploitation and ignorance. From HTI’s point of view, the source of the problem is untrustworthy leadership running a bankrupt secular system.

Therefore, HTI offers a justifiable, testable and conceptual solution, i.e. Islamic sharia. Rallying on a singular theme “Save Indonesia with Sharia”, HTI has organized various activities to remind the people that the Islamic solution emanating from the Most Benevolent and Merciful is the only answer for humanity. This system or Islamic sharia will liberate the people from the shackles of secular capitalism and corrupt and exploitative rulers.

As for HTI, the efforts to liberate the people from poverty, ignorance, decadence, crime and national disintegration are religious duties. HTI moves, works and breathes with the people in criticizing and speaking out against unjust policies such as energy price increases, privatization of state companies, dependency on foreign debt, commercialization of education and public health that add burdens to our current misery.

HTI also offers the practical solution of Islamic sharia, which states that the state must provide the basic needs of individual citizens such as food, clothing and housing in addition to free education and accessible health services.

HTI asserts that natural resources belong to the people and must be administered by the state with full responsibility and accountability instead of being contracted out to foreign companies.
Moreover, HTI has also exposed dangerous moves in Papua, Aceh and Ambon, which potentially lead to national disintegration.

Even more importantly, HTI is deeply concerned with the purity of the Islamic creed adopted by the majority of Indonesian citizens. Moreover, the harmony among different religious communities must also be protected. In this context, HTI has participated in the defense of the 1965 law that is currently under judicial review.

The abolition of the law will lead to the mushrooming of various sects that can blaspheme or smear existing Islamic creed, or any other religious creeds for that matter. Without a law to protect religious creed, social conflicts will very likely occur unimpeded.

The 1965 law does not encroach on the right to embrace any religion. Islam itself never forces anyone to convert. According to Islamic sharia, every religious adherent is free to perform their own rites. However, the freedom of ritual expression does not constitute the freedom to blaspheme against other religions. This is why the 1965 law is needed to avoid blasphemous acts that may ignite great social discords.

HTI does not view the law as a cause of violence. Au contraire, the failure to enforce the 1965 law has pushed some members of society to take matters into their own hands. Social unrest occurs because of a lack of action by the state to prosecute blatant offenses perpetrated by certain individuals and/or deviant sects that have attacked or ridiculed well known Islamic tenets.

Are there any rational persons who are ready to face the resulting instability as a consequence of abolishing the law and bear the responsibility simultaneously? Seeking to abolish the 1965 law is tantamount to wishing for social conflicts.

HTI has carefully deliberated these aforementioned points and decided to join effort to prevent the abolition of the 1965 law as sought by a handful of groups. One may then question the legal standing of AKKBB among others who seek the abolition of the 1965 law. They are neither religious groups nor promoting a religious agenda. So who says HTI has no say in this matter?

Clearly HTI and the Post may each endorse different and perhaps opposing opinions up to this very day.

(Muhammad Ismail Yusanto is a spokesman for Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Jakarta | Fri, 03/05/2010 10:48 AM | Opinion)
http://akhmadyusuf.blogspot.com/

Ribuan Massa HTI Pawai Tolak Kedatangan Obama

Ribuan Massa HTI Pawai Tolak Kedatangan Obama

Jakarta - Ribuan massa Hizbut Tahrir Indonesia pawai keliling Kota Bogo,r Minggu (7/3/2010). Mereka melakukan pawai keliling Kota Bogor untuk menuntut pemerintah Indonesia menolak kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. Pawai yang menggunakan kendaraan roda dua ini sempat memadati kota hujan tersebut.

Salah seorang perwakilan demostran melakukan orasi di atas mobil bak terbuka. Dalam orasinya, HTI mengajak masyarakat Bogor untuk menolak kedatang Obama, karena dia adalah presiden negara penjajah.

“Kami sangat menentang keras kedatangan Obama. Karena Obama adalah presiden negara penjajah,” demikian orasi dari Rokhim Abdul Karim, Ketua DPD HTI Bogor.

“Kami tolak kedatangan Obama, Obama telak banyak mengingkari ucapannya untuk tidak melakukan penyerangan ke negara Islam dan tidak membantai ibu-ibu dan anak-anak. Namun ribuan korban sudah jatuh di Jalur Gaza,” kata rokhim.

HTI pun menilai kedatangan Obama adalah bagian dari legitimasi Presiden SBY untuk dapat dukungan dari pemimpin negeri adu kuasa itu. “Kasus-kasus yang ada di negara ini yang mengancam SBY turun dari jabatannya, akan dapat dukungan dari Obama untuk tidak turun,” jelas rokhim.

Ribuan iringan kendaraan roda dua tersebut memadati sekitaran ruas jalan di Kota Bogor. Aksi ini melalui Jalan Juanda, Padjajaran, Sukasari, sampai memutar kembali ke Jalan Juanda.

Aksi HTI ini akan terus dilakukan sampai Obama benar-benar batal datang ke
Indonesia. HTI menilai Obama telah banyak mengingkari ucapannya sendiri. (detik.com; Minggu, 07/03/2010 14:01 WIB)
http://akhmadyusuf.blogspot.com/

Seribu Ulama se-Jatim Sepakat Tolak Obama

Seribu Ulama se-Jatim Sepakat Tolak Obama

Surabaya - 1.000 Ulama se-Jatim sepakat menolak kedatangan Presiden AS, Barrack Obama ke Indonesia pada 20-22 Maret mendatang. Penolakan ini sebagai bentuk protes atas tindakan AS yang menganiaya umat Islam di seluruh dunia.

Ulama dan pimpinan pondok pesantren ini bersepakat bahwa Obama adalah simbol dari kekejaman dunia barat terhadap umat Islam. Dunia barat hingga saat ini masih terus aktif menyiksa dan membunuh Islam di seluruh dunia.

“Kami sepakat menolak kedatangan Obama ke Indonesia sebagai bentuk solidaritas kami kepada saudara-saudara kami yang mengalami penderitaan akibat kekuasaan AS dan kroninya,” kata Ketua DPD Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jatim, Khoiri Sulaiman, kepada wartawan di sela-sela pernyataan sikap di Asrama Haji, Jalan Sukolilo, Surabaya, Minggu (7/3/2010).

Khoiri menjelaskan, acara kesepakatan dengan para ulama ini dilakukan serentak di dua tempat yakni Surabaya dan Malang. Pihaknya akan berunjuk rasa tanggal 14 Maret mendatang di depan Konjen AS dengan massa sebanyak 5 ribu orang.

Dia mengharapkan protes ini didengar pemerintah dan bisa mempertimbangkan lagi menerima kedatangan Obama ke Indonesia. Sebagai organisasi Islam, HTI hanya bisa mengeluarkan sikap dengan cara seperti ini karena tidak berhak menolak Obama.

“Aksi kami ini harus bisa menjadi pertimbangan pemerintah agar tidak menerima Obama,” tambahnya. (www.detik.com; Minggu, 07/03/2010 11:52 WIB)
http://akhmadyusuf.blogspot.com/

1.000 Ulama HTI Tolak Kedatangan Obama

1.000 Ulama HTI Tolak Kedatangan Obama
Minggu, 7 Maret 2010 | 12:45 WIB

dari Kompas.com

SURABAYA, KOMPAS.com — Sekitar 1.000 ulama dari Hizbut Tahrir Indonesia Jatim atau HTI Jatim sepakat menolak kedatangan Presiden AS Barack Obama ke Indonesia pada 20-22 Maret mendatang. Kesepakatan ini tercapai saat mereka menghadiri Majelis Al Buhuj Al Islamiyah di Asrama Haji Surabaya

"Penolakan ini adalah bentuk protes kami atas tindakan AS yang kerap menganiaya umat Islam di seluruh dunia," kata Ketua DPD HTI Jatim Khoiri Sulaiman, Minggu (7/3/2010).

Para ulama dan pimpinan pondok pesantren tersebut bersepakat bahwa Obama merupakan simbol dari kekejaman dunia barat terhadap umat Islam. Menurut dia, dunia barat hingga saat ini masih terus aktif menyiksa dan membunuh Islam di seluruh dunia.

"Kami sepakat menolak kedatangan Obama ke Indonesia sebagai bentuk solidaritas kami kepada saudara-saudara kami yang mengalami penderitaan akibat kekuasaan AS dan kroninya," katanya.

Selain di Surabaya, Majelis Al Buhuj Al Islamiyah juga digelar di Malang. Majelis ini juga menolak kedatangan Obama.
http://akhmadyusuf.blogspot.com/